Keputusan Pertamina Soal Ketahanan Energi Stabilitas Perekonomian Dinilai Bijak
JAKARTA -- Komitmen Pertamina untuk menjaga ketahanan energi nasional dan mendukung stabilitas perekonomian dinilai tepat dan bijak. Komitmen itu ditunjukkan Pertamina di tengah kondisi geopolitik yang terus meningkat di Timur Tengah hingga berpotensi membuat harga crude oil terus melesat.
Hal itu disampaikan ekonom senior Institute for Social, Economic, and Digital (ISED), Ryan Kiryanto. Ryan memandang sikap tersebut sebagai wujud kehadiran negara melalui Pertamina.
"Ini merupakan keputusan yang bijak. Dalam keadaan apa pun negara melalui Pertamina harus hadir. Nah bentuk kehadiran negara tersebut adalah ikut menstabilkan harga di pasar yang menjadi konsumsi masyarakat banyak. Termasuk juga bahwa Pertamina terus memelihara pasokan BBM guna menjaga ketahanan energi," kata Ryan kepada wartawan, Senin (29/4/2024).
Menurut Ryan, optimisme dan komitmen Pertamina tersebut sangat penting, terutama dalam kondisi saat ini dimana terjadi melesatnya harga minyak dunia.
"Akibat kondisi geopolitik memang sangat berpengaruh kepada perekonomian nasional. Terlebih, dibarengi dengan melemahnya nilai tukar mata uang," ujar Ryan.
Oleh karena itu, Ryan memandang Pemerintah harus mendukung Pertamina.
"Harus (mendukung). Jika dalam situasi geopolitik seperti sekarang, Pertamina menaikkan harga BBM misalnya, maka efek spiralnya ke mana-mana. Ada yang namanya first round effect yaitu pembeli BBM akan langsung terpukul karena harga tiba-tiba menjadi lebih mahal," ucap Ryan.
Ryan mengungkapkan kekhawatiran akan munculnya second round effect yakni harga barang-barang akan mengikuti kenaikan harga BBM tersebut.
"Ujungnya, kalau harga barang kelompok barang pokok naik, yang terjadi adalah inflasi," ujar Ryan.
Bahkan, selain kenaikan harga barang di dalam negeri, kenaikan harga barang di luar negeri juga membuat semakin berat. Kondisi demikian, menurut Ryan disebut sebagai imported inflation. Yakni, kenaikan harga akibat tingginya harga barang dari luar negeri.
"Sehingga kita akan terkena double inflation factor dimana causa prima nya adalah risiko geopolitik yang meningkat," ujar Ryan.
Dan jika itu terjadi, lanjut Ryan, tentu sangat memberatkan masyarakat.
"Makanya, Pertamina sebagai BUMN di tengah situasi yang sedang hangat secara geopolitik, tentu dari sisi timing, pilihan terbaik adalah tidak menyesuaikan harga BBM dahulu sambil terus menjaga ketahanan energi," ujar Ryan.
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menegaskan Pertamina akan terus meningkatkan upaya mitigasi risiko untuk mengurangi potensi dampak dari dinamika situasi ekonomi dan geopolitik. Ini termasuk pengendalian biaya, pemilihan komposisi crude yang optimal, pengelolaan inventory yang efektif, peningkatan produksi high-yield products dan efisiensi di semua lini operasional.
Tercatat, meningkatnya ketegangan di Timur Tenga memang memicu kenaikan harga minyak dunia. Pada Jumat (26/4) misalnya, harga minyak WTI naik 0,39% ke US$ 83,90 per barel. Sedangkan jenis Brent naik 0,38% ke US$ 89,35 per barel. Dalam sepekan, harga minyak WTI menguat 2,04%. Pada periode yang sama, harga minyak Brent menguat 2,36%.
Walau demikian, Pertamina terus berkomitmen untuk selalu menjaga ketahanan energi nasional dan mendukung stabilitas perekonomian.