Home > Bisnis

Industri Masih Baru, Pajak Aset Kripto Diharap Cukup Berlakukan PPh Seperti Pasar Saham

Pengenaan pajak kripto sebesar saat ini menambah biaya bagi para nasabah, dan banyak yang pindah ke exchange luar negeri untuk bertransaksi kripto.
Aset kripto (ilustrasi). Sumber: pexels
Aset kripto (ilustrasi). Sumber: pexels

GenpOp.id -- Pajak dari aset kripto mampu melampaui 50 persen dari pajak fintech. Pajak aset kripto ini telah memberikan sumbangsih yang besar untuk penerimaan negara.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Tirta Karma Sanjaya, dikutip dari Republika.co.id, Rabu (28/2/2024).

Meski begitu, Tirta menyampaikan, pengenaan pajak terhadap aset kripto perlu dievaluasi ulang. Ini karena industri kripto di Indonesia masih tergolong baru. Karena industrinya masih baru, maka harus diberi kesempatan untuk tumbuh.

Bertransaksi Kripto di Bursa Luar Negeri

Ketika pajak yang dikenakan terhadap aset kripto terlalu besar, maka akan banyak orang yang memilih melakukan transaksi kripto melalui bursa kripto di luar negeri. Apalagi industri kripto di Indonesia masih tergolong baru.

"Dengan pengenaan pajak sebesar saat ini menambah biaya bagi para nasabah. Banyak nasabah yang transaksi di exchange luar negeri," kata Tirta.

Dalam catatan Bappebti, nilai transaksi kripto sepanjang 2022 adalah sebesar Rp 306,4 triliun. Angka ini menurun 64,3 persen dibandingkan tahun 2021 yang mencapai Rp 858,76 triliun. Adapun pada 2020, transaksi kripto tercatat sebesar Rp 64,9 triliun.

Pada 2022 lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 68 tahun 2022, yang memuat penetapan pajak untuk aset kripto. PMK ini berlaku sejak tanggal 1 Mei 2022.

PMK tersebut mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.

Awal 2024, Pendapatan Negara dari Kripto Rp 39 miliar

Sampai akhir Januari 2024, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat realisasi pendapatan negara dari pajak kripto sudah mencapai Rp 39,13 miliar.

Dari jumlah ini, Rp 18,2 miliar di antaranya berasal dari pajak penghasilan (PPh) pasal 22, kemudian sebesar Rp 20 miliar berasal dari pajak pertambahan nilai (PPn) atas transaksi kripto.

Berdasarkan hal tersebut, dan juga bertepatan dengan proses peralihan pengawasan aset kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini, maka diharapkan ini menjadi momentum evaluasi terhadap aturan pajak aset kripto.

"Biasanya pajak ada evaluasi kalau pajak aset kripto tidak direduksi, setidaknya pengenaannya tidak PPh dan PPn. Kami bersama asosiasi siap berkoordinasi dengan Dirjen Pajak," terang Tirta.

Hilangkan PPn, Cukup PPh

Sementara itu, Direktur Utama Indodax, exchange kripto pertama di Indonesia, Oscar Darmawan mengatakan, regulasi aset kripto di Indonesia, khususnya terkait pajak aset kripto termasuk dalam hal ini PPh dan PPn, memang sudah baik.

Namun dia mengakui, kalau tidak ada PPn, tentu akan menjadi lebih baik. "Perkembangan regulasi semakin baik di Indonesia dengan adanya pajak kripto baik PPh dan PPn, tetapi dengan tidak adanya PPn, itu lebih baik," tambahnya.

Oscar berharap pajak PPn terhadap aset kripto dievaluasi ulang, dan cukup memberlakukan PPh sebagaimana transaksi di pasar saham. []

× Image